Andalusia di Spanyol memang mengejutkan. Cerita sejarahnya yang yang cukup menghenyak anak muda muslim zaman now, hanyalah salah satu sisinya saja. Kota-kota yang ada di dalamnya pun menyimpan banyak kejutan bagi kami. Salah satunya adalah Cordoba.
Saya memang tak banyak tau tentang suasana Cordoba saat kami merencanakan liburan kami ke sana tahun 2016 silam.
Saya hanya tau, di sanalah terletak Mezquita.Masjid terbesar peninggalan kaum muslimin saat islam masih memimpin di tanah Spanyol. Masjid yang cukup banyak mempersembahkan ilmuwan penting dunia. Masjid yang kini beralih fungsi menjadi katedral.
Tapi seperti apa Cordoba, saya tak banyak tau sebelumnya.
Dari Madrid ke Cordoba
Kereta kami tiba di Cordoba pukul 11.42 siang setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 1 jam 42 menit dari stasiun Atocha Renfe di Madrid. Waktu tempuh yang lumayan singkat karena kami menggunakan kereta ekspress. Dengan waktu tempuh demikian, kami putuskan untuk balik hari saja ke penginapan kami di Madrid, tak perlu menginap di Cordoba.
Tiket kereta kami beli secara online sejak jauh hari agar bisa mendapatkan harga paling murah. Toh fasilitasnya sama saja. Siapa yang lebih dulu melakukan reservasi, dapat harga lebih murah. Kami membayar sekitar €49 per orang sekali jalan. Lumayan mahal untuk harga tiket kereta di Eropa. Untungnya, kami tak perlu membayar tiket untuk 2 balita kami. Anak balita tak perlu membayar tiket kereta walaupun duduknya harus kami pangku karena tak diberi nomer kursi.
Keretanya sangat nyaman, kalau saya tak menyebutnya mewah. Ruang duduknya cukup lapang, modern dan bersih sekali. Tapi jangan lupa menukar tiket online ke tiket aktual di loket dalam ruang tunggu untuk mendapatkan nomor tempat duduk.
Untuk masuk ruang tunggu kereta, kita mesti melewati screening seperti di bandara. Pemeriksaan yang lumayan ketat ini disebabkan kejadian ledakan bom di stasiun Atocha yang menelan korban jiwa cukup banyak beberapa tahun yang lalu.
Di stasiun Atocha Renfe Madrid, selepas urusan pemeriksaan dan tiket, beberapa menit setelah menunggu kedatangan kereta, kami bergegas antri menuruni escalator menuju platform tempat kereta kami berhenti. Kereta yang tepat waktu dan tidak membuang waktu banyak saat menunggu penumpang untuk naik, lumayan bikin kami tergopoh-gopoh menaiki kereta dan memasukkan stroller anak-anak di ruang bagasi. Ruang bagasi terdapat di bagian belakang tiap gerbong untuk menyimpan koper-koper ukuran besar.
Di dalam kereta, dua anak kami yang duduk di pangkuan kami alhamdulillah cukup tenang menikmati pemandangan perkebunan zaitun di sepanjang perjalanan menuju Cordoba. Perkebunan zaitun yang seolah memberi pertanda akan seperti apa kota yang kami temui nanti.
Cordoba Kesan Pertama
Kesan pertama, sepi 😀 . Tak banyak kami temui orang yang hilir mudik, tidak seperti Madrid. Kalau Madrid nampak jelas sebagai sebuah kota metropolitan, maka Cordoba di mata kami lebih terlihat sebagai kota kecil yang tenang.
Kesan kedua,….ini masih di Eropa kah?? Alam dan cuaca Cordoba saat itu lebih mirip Indonesia atau bahkan Timur Tengah. Udara yang kering, matahari yang terang benderang, tanah yang kuning dan berdebu, vegetasi khas iklim panas, dan landscape kotanya, bikin saya sejenak lupa kalau kota ini terletak di daratan Eropa.
Menunggu di halte bus stasiun untuk menuju Mezquita, membuat saya kembali tersadar. Adalah transportasi umumnya yang khas negara Eropa yang kembali menyadarkan saya 😀 . Walaupun kotanya nampak sepi, transportasi umum di Cordoba tetap berstandar Eropa. Bus kota yang tepat waktu dan terawat dengan baik, papan informasi keberangkatan dan kedatangan yang jelas, bikin kami sangat nyaman berkeliling kota dengan kendaraan umum di Cordoba.
Menuju Mezquita
Tak membuang waktu banyak karena kami sampai di Cordoba saat tengah hari, dan kami sudah harus kembali ke stasiun di sore hari untuk menaiki kereta balik ke Madrid tepat pukul 5 sore, dari halte stasiun kereta kami segera menaiki bus no 3 jurusan Albaida-Fuensanta untuk menuju Mezquita. Kami turun di halte San Fernando, dan dari halte ini dipandu google maps kami menyusuri gang di antara rumah penduduk untuk sampai di Mezquita.
Sekitar 500 meter berjalan kami akhirnya melihat beberapa hotel, restoran dan toko souvenir. Pertanda Mezquita yang jadi tujuan utama turis di Cordoba sudah di depan mata.
Hanya sempat mengamati beberapa bangunan hotel dengan pintu gerbang besi dan patio di dalamnya, lalu menengok harga berbagai cinderamata di toko souvenir, kami lalu bergegas masuk ke gerbang Mezquita.
Bangunan Mezquita sangatlah besar, hingga ada beberapa gerbang yang bisa dilalui untuk masuk ke halamannya. Kami masuk melalui pintu gerbang di sudut timur Mezquita, tepat di seberang toko souvenir El Mihrab.
Loket pembayaran tiket masuk hanya beberapa meter dari gerbang kami masuk. Kami membayar €8 per orang untuk 2 tiket dewasa. Anak balita kami sekali lagi gratis kali ini. Tiket yang kami beli adalah untuk pass masuk ke dalam gedung masjid-katedral. Untuk membeli audio perlu mengeluarkan biaya tambahan. Beberapa pemandu juga menawarkan jasanya di sekitar Mezquita. Tentu saja dengan tarif jam kerja orang Eropa.
Kami masuk hanya berbekal tiket masuk tanpa audio dan tanpa pemandu. Kami memutuskan untuk membeli buku panduan saja yang banyak dijual di toko souvenir nantinya untuk bahan bacaan di rumah. Tapi itu juga terpaksa kami lewatkan karena buru-buru mengejar bis ke stasiun…hahahha.
Syukurlah kekhusyukan kami tak berkurang saat mengamati Mezquita walau tanpa bekal panduan. Sekedar meresapi di masjid inilah Al Qurthubi, Az Zahrawi, Ibnu Rusyd, Ibnu Firnas dan sejumlah ilmuwan islam lainnya dahulu duduk bersimpuh menguraikan ilmu pengetahuan untuk kemudian diwariskan ke kita, sudah membuat perasaan membuncah tak terkira.
Ada rasa haru dan pilu, terutama mengingat kini umat islam tak bisa lagi duduk menimba ilmu di masjid ini seperti mereka, bahkan hanya untuk sekedar melakukan sholat. Masjid itu kini tinggal sejarah untuk diceritakan kepada anak cucu kita, betapa dahulu umat islam pernah melewati masa gemilang hingga yang paling kelam. Dari masjid yang berlimpah cahaya ilmu pengetahuan yang menerangi Eropa, hingga kini tinggal museum berpenerangan minim dengan gerbang-gerbangnya yang telah ditutup. Seolah menutup masa lalu.
La Mezquita
Mezquita de Cordoba yang kita saksikan wujudnya saat ini, awalnya merupakan kuil romawi kuno yang kemudian dijadikan gereja setelah penaklukan oleh bangsa Visigoth. Sekitar tahun 700 Masehi pasukan kaum muslimin masuk kedaratan Andalusia atas permintaan Count Julian, pemimpin wilayah Ceuta di Spanyol yang tertindas oleh Raja Roderick, pemimpin Visigoth yang semena-mena. Raja Roderick akhirnya ditaklukan oleh pasukan muslimin di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad yang ditugaskan oleh Musa bin Nusayr. Peta kekuasaan pun berubah. Visigoth tersingkir dan kaum muslimin memimpin. Islam kemudian berkembang pesat di Andalusia sejak saat itu.
Akan tetapi gereja Visigoth di Cordoba yang ada saat itu tidak serta merta ikut dihancurkan. Alih-alih dihancurkan, gereja tersebut dibagi dua area. Sebagian area digunakan untuk masjid, sebagian area digunakan untuk tempat beribadah umat kristiani. Seiring dengan semakin pesatnya pertumbuhan umat islam, penguasa Cordoba Abdurrahman I di kemudian hari membeli seluruh lahan yang dimiliki gereja. Sejak saat itu pembangunan dan perluasan Mezquita de Cordoba pun dimulai.
Seperti juga halnya pembangunan Alhambra yang bertahap dilakukan tiap dinasti penguasanya, pembangunan Mezquita de Cordoba juga demikian halnya. Berturut-turut dari Abdurrahman I, Hisham I, Abdurrahman II hingga terakhir Al Mansur melakukan perluasan dan pembangunan masjid dan menara adzan.
Setelah jatuhnya Cordoba ke penguasa katolik, menara adzan pun digantikan dengan menara lonceng dan dibuat lebih tinggi dari semula. Altar gereja pun didirikan tepat di tengah Masjid, menjadikan tempat ini memiliki dua nama yaitu Mezquita-Catedral. Meskipun masjidnya tak lagi difungsikan.
Kini Mezquita de Cordoba yang tadinya memiliki puluhan pintu masuk, hanya membuka beberapa pintunya saja. Sepanjang dinding masjid yang dahulu dipenuhi pintu terbuka kini ditutupi tembok yang membuat ruangan dalam Mezquita nampak temaram.
Meski begitu, dengan penerangan minim di ruangan dalam Mezquita kita masih bisa menikmati hasil karya para seniman dan ilmuwan Cordoba yang tertinggal di bentuk-bentuk pilar masjidnya, lengkung kolomnya, hingga mihrab dan kubah yang menaunginya.
Susunan batu dan tanah liat yang berselang-seling membentuk warna merah dan putih di lengkung ganda yang menghubungkan tiap kolom adalah hasil cipta para ilmuwan masa itu yang dikerjakan dengan teliti dan dengan ketinggian ilmu pengetahuan. Kombinasi tanah liat merah yang lunak dan bebatuan berwarna putih yang kokoh adalah pilihan terbaik bagi bangunan untuk mengatasi goncangan yang bisa terjadi antar kolom sekaligus menciptakan mozaik warna khas di Mezquita. Hal yang dikemudian hari sulit untuk dikerjakan Enrique de Arfe dan penerusnya. Setelah era Al Mansur, penguasa muslim terakhir Cordoba, mozaik merah dan putih pada lengkungan antar kolom di Mezquita diperoleh tidak lagi dengan cara terdahulu, tetapi disederhanakan menggunakan cat warna.
Bentuk tapal kuda yang diadopsi dari corak istana peninggalan Visigoth dan diaplikasikan di kolom mihrab serta di banyak tempat di Mezquita, menunjukkan adanya keterbukaan masyarakat islam saat itu yang kelak melahirkan banyak karya-karya fenomenal. Di masa itu ilmuwan Andalusia meramu berbagai sumber ilmu untuk di kemudian hari merumuskan berbagai konsep dasar pengetahuan yang bermanfaat hingga di masa-masa mendatang. Di masa itulah diletakkan dasar-dasar ilmu kedokteran modern, ilmu astronomi, ilmu optik hingga ilmu fisika-aeronautika. Di masa itu keran ilmu pengetahuan dibuka sedemikian besarnya dan menerangi lorong-lorong kota Andalusia saat pojok-pojok Eropa lain masih diselimuti kegelapan.
Masih banyak lintasan sejarah yang ingin kami nikmati hari itu, tapi bagaimanapun kami harus segera pulang mengejar kereta ke Madrid. Dari jembatan Puente Romano di tepian Sungai Wadi Al Kabir, kami memandangi Mezquita de Cordoba untuk terakhir kali sebelum menaiki bus yang membawa kami ke stasiun kereta. Membayangkan seperti apa rasanya jika kami berdiri di tepian jembatan ini berabad-abad silam dan memandangi Mezquita, saat masjid itu masih menerangi Andalusia.
One thought on “Suatu Hari di Mezquita de Cordoba”