Bagi saya, Alhambra bukan hanya sebuah peninggalan karya seni dan arsitektur. Ia adalah sejarah. Yang dalam rentetan peristiwanya mengungkap begitu banyak kisah sebuah peradaban, di benua Eropa, di sebuah tanah bernama Andalusia Spanyol.
Bulan Oktober 2015 lalu, di saat Spanyol telah memasuki musim gugur, kami akhirnya menjejakkan kaki ke benteng terakhir umat islam di Andalusia itu.
Menuju Alhambra
Jadwal masuk kunjungan kami ke Alhambra hari itu adalah pukul 2 siang. Sebelumnya kami jauh hari telah membeli tiket masuk pada seorang agen perjalanan wisata yang direkomendasikan kawan kami.
baca juga: Panduan Wisata ke Alhambra dan Granada
Karena hari masih pagi, maka sesuai rencana kami terlebih dahulu mengunjungi Albayzin. Beberapa review menyebutkan Albayzin sebagai lokasi yang bagus untuk menikmati keindahan Alhambra dari kejauhan.
Alhambra dan Albayzin berdiri di dua sisi bukit yang berbeda yang dipisahkan oleh sebuah sungai.
Gambar di atas adalah potret Alhambra yang kami ambil dari sisi bukit Albayzin.
Pemandangannya sangat luar biasa. Saya jadi mengerti mengapa para sultan yang membangun Alhambra begitu berambisi menjadikan istana ini selaksa surga di bumi.
Letaknya yang berada di puncak bukit dan dikitari barisan pegunungan Sierra Nevada akan mengundang decak kagum siapa saja yang melihatnya. Mungkin itulah yang dirasakan oleh para tamu yang diundang sultan untuk berkunjung ke Alhambra dahulu kala. Dari jauh saja, kemegahan Alhambra membuat yang memandangnya seolah terjajah oleh perasaan kagum.
Sayangnya matahari yang mulai bergulir ke barat membuat kami tak bisa terlalu lama mengagumi Alhambra dari jauh. Kami harus buru-buru menuruni Albayzin untuk bergegas ke Alhambra.
Generalife, Karya Cipta Sang Arsitek
Pemandu kami di Alhambra adalah seorang muslim keturunan Maroko yang mengambil kuliah jurusan pariwisata di Universitat de Granada. Sesaat sebelum memasuki pintu masuk Alhambra, ia memberikan gambaran singkat tentang Alhambra yang terdiri dari 3 komplek utama. Yaitu Benteng Alcazaba, Nasrid Palace, dan Generalife.
Ketiga kompleks ini pembangunannya tidak dibangun serentak dalam satu masa. Secara berurutan para sultan yang berkuasa di Granada ikut berkontribusi mendirikan ataupun memperluas kompleks yang ada. Kompleks pertama yang dibangun adalah Benteng Alcazaba, pada masa pemerintahan Muhammad I, kemudian dilanjutkan dengan pembangunan Generalife yang seterusnya disempurnakan dengan pembangunan Nasrid Palace secara bertahap oleh penerus tahta.
Kunjungan kami hari itu dimulai dari Generalife yang merupakan rumah peristirahatan bagi sultan dan keluarganya.
Letaknya berada di bagian paling belakang dari komplek Alhambra, agak terpisah dan lebih tinggi di atas bukit.
Dari pintu gerbangnya terlihat beberapa kebun yang nampak terawat. Kami sempat menyaksikan beberapa ekor cerpelai yang asyik berlompatan di pepohonan. Meskipun demikian, pemandu kami mengatakan kebun asli yang dibangun di masa kesultanan islam kini sudah banyak yang hancur dan berubah.
Dalam bahasa Spanyol, kebun berarti ‘huerta’. Dari banyak huerta yang dibuat pada zaman kesultanan islam, yang tersisa hingga kini hanyalah Huerta Colora.
Huerta Colora memang nampak agak berbeda dengan beberapa kebun yang dibangun kemudian setelah jatuhnya Alhambra. Huerta Colora nampak lebih alami dengan beberapa tanaman perdu khas Spanyol. Pada masa jayanya di bawah kesultanan islam, Kota Granada memang dihuni oleh banyak pakar botani yang namanya masih tercatat dalam berbagai literatur ilmiah hingga kini.
Semakin menanjak ke arah atas kami melewati beberapa taman dan kebun yang dibangun pasca reconquista dan rekonstruksi Alhambra, untuk kemudian memasuki area rumah peristirahatan Generalife.
Generalife ini pada awalnya dibangun sebagai rumah musim panas bagi para sultan dan keluarganya. Pada musim panas, suhu udara di Spanyol memang sangat tinggi hingga mencapai 40 derajat Celcius. Lokasinya yang berada di ketinggian dengan udara pegunungan yang lebih sejuk membuat Sultan Ismail I berinisiatif untuk membangun rumah peristirahatan di sini. Rumah peristirahatan yang kemudian dibangun dengan perencanaan yang sangat baik oleh arsitek kenamaan Andalusia pada masa itu. Beberapa literatur menyebutkan sistem pengairan dan drainase yang maju telah diterapkan pada kompleks Generalife pada masa awal ia dibangun.
Dari sinilah diambil nama Generalife, kata yang dilafalkan dari kata dalam bahasa arab “Jannatul ‘Arif” yang bermakna architecht’s garden.
Dalam penjelasannya, pemandu kami menuturkan bahwa dalam setiap arsitektur islam ternama selalu melibatkan 3 unsur yaitu taman, air dan bangunan islam yang banyak dicirikan dengan pahatan kaligrafi. Tiga unsur yang memang nampak jelas dari kompleks Generalife yang kami lihat.
Bagian utama kompleks Generalife adalah sebuah taman dengan air mancur dan bangunan khas islam dengan bukaan ruangan yang cukup banyak sehingga lebih layak disebut sebagai gallery. Beberapa bangunan peninggalan islam yang kami temui di Spanyol memang salah satu cirinya memiliki ruang bukaan yang cukup banyak, sehingga cahaya dan udara dapat lebih mudah masuk dan keluar.
Kalau anda pernah nonton film dengan background setting negri Spanyol seperti The Legend of Zorro, maka pasti tidak asing dengan bangunan seperti ini 🙂 .
Dalam literatur berbahasa Inggris taman ini disebut dengan nama Courtyard of The Water Channel.
Saya sempat mengabadikan pemandangan benteng Alcazaba dari salah satu jendela yang terletak di selasar Courtyard of The Water Channel. Karena letaknya yang berada di ketinggian maka hampir seluruh bagian benteng Alcazaba dan Nasrid Palace bisa terlihat dari sini. Benteng Alcazaba dan Nasrid Palace dari salah satu jendela di selasar courtyard of the water channel Generalife
Nasrid Palace, Kediaman Sang Sultan
Menuruni kompleks Generalife yang sangat luas, mengharuskan kami untuk berjalan beberapa ratus meter melewati taman-taman yang dibangun pasca reconquista, untuk kemudian menuju ke Nasrid Palace. Saking luasnya, kami bahkan menjumpai beberapa bangunan hotel yang berada di dalam kompleks Alhambra dalam perjalanan kami dari Generalife ke Nasrid Palace. Hotel-hotel ini nampaknya dibangun melihat antusiasme turis mancanegara saat ini yang hendak melihat Alhambra dari dekat.
Sebelum sampai pada gerbang yang akan mengantarkan kami ke Nasrid Palace, di sisi sebelah kanan kami berdiri sebuah bangunan bergaya renaissance. Dari wujudnya, bangunan ini jelas dibangun setelah jatuhnya Alhambra ke kerajaan Katolik. Bangunan itu dikenal dengan nama Palace of Charles V. Konon, Raja Charles V saat mengunjungi Alhambra sangat terkesan dengan keindahan Alhambra dan memutuskan untuk membangun sebuah kediaman bagi dirinya di kompleks ini.
Dilihat dari dekat, Palace of Charles V ini tidak banyak ditemukan ukiran. Hanya pada beberapa bagian dindingnya terdapat ornamen bergaya renaissance yang menampilkan pahatan simbol tokoh kerajaan, manusia telanjang maupun figur dari Alkitab. Nampak kontras dibandingkan dengan bangunan arsitektur peninggalan kesultanan islam di sekitarnya yang banyak menampilkan pahatan kaligrafi dan simbol geometri yang mendetail. Dua kepercayaan yang berbeda memang memberi pengaruh yang kuat pada ciri khas masing-masing arsitektur di Alhambra.
Tetapi nampaknya justru ini yang menjadi daya tarik utama para turis mengunjungi Alhambra. Melihat dari dekat bagaimana dua kepercayaan dengan dua jejak sejarah memberi warna pada sebuah kompleks mahakarya arsitektur dunia, menjadi pengalaman tersendiri yang tidak kita temukan di sembarang tempat.
Tidak jauh dari Palace of Charles V, di jalan menuju Nasrid Palace kami melewati sebuah gerbang yang dinamakan dengan Gate of Wine atau Puerta del Vino dalam bahasa Spanyol.
Dinamakan demikian sebab dalam sejarahnya gerbang ini menjadi gerbang tempat transaksi jual beli antara pedagang wine dan penduduk Alhambra setelah lepasnya Alhambra dari kesultanan islam.
Seketika saya membayangkan bagaimana transisi budaya yang terjadi sepeninggal kesultanan islam di wilayah ini. Ada rasa pilu menelisik demi mengingat bagaimana Sultan Muhammad XII atau yang dikenal dalam literatur barat sebagai Sultan Boabdil, beserta pengikutnya terpaksa menyerahkan kunci kota Granada dan terusir keluar dari Alhambra melalui gerbang ini yang lalu meninggalkan sejarah kelam bagi umat islam yang tersisa di Andalusia saat itu.
Dari lokasinya yang berada di dalam kompleks Alhambra, terletak antara benteng Alcazaba dan medinat (pemukiman), gerbang ini dianggap bukan bagian dari benteng sebagaimana banyak gerbang-gerbang lainnya yang menempel pada sisi benteng. Gerbang ini diyakini lebih sebagai pintu masuk ke kawasan pemukiman dan istana yang terletak di dalam benteng.
Tidak jauh dari Gate of Wine, kami ditunjukkan sisa reruntuhan bangunan di masa kesultanan islam. Di antaranya adalah bekas reruntuhan masjid dengan menara adzan. Tidak dijelaskan mengapa bangunan-bangunan tersebut hanya tinggal reruntuhannya saja. Hanya saja sepanjang pengamatan kami memang tak ada lagi bangunan masjid yang masih berdiri, kalaupun ada semuanya telah berubah menjadi kapel atau gereja.
Melangkah masuk ke bangunan Nasrid Palace, mata kita akan segera bertemu dengan banyak ukiran kaligrafi dan ornamen geometri khas islam di ruangan yang disebut Mexuar Hall. Mexuar Hall dulunya adalah adalah semacam balaikota dimana pertemuan warga biasa dilakukan, dan para sultan mendengarkan masukan ataupun pertanyaan dari warganya. Ruangan ini kemudian diubah menjadi kapel oleh penguasa Katolik sesudahnya, dan mengalami perombakan yang cukup banyak.
Di antara banyak ukiran kaligrafi, lafaz Laa Ghalibu ilallah nampaknya mendominasi ukiran yang terpahat di dinding maupun di tiang-tiang bangunan. Lafaz yang artinya “tiada kemenangan melainkan milik Allah” itu kemudian kami saksikan mendominasi ukiran di tiap bangunan Nasrid Palace, tidak saja di Mexuar Hall.
Dari penuturan pemandu kami, nampaknya kondisi Granada yang memang lemah, tidak seperti Cordoba ataupun Sevilla sebelum runtuhnya 2 kesultanan ini, membuat kalimat ini menjadi pemicu ghirah dan pelecut semangat umat muslim Granada sehingga terpatri di banyak bangunannya.
Menilik sejarahnya, Granada adalah benteng terakhir umat muslim Andalusia setelah kekalahan berturut-turut kesultanan muslim di Sevilla, Cordoba dan Toledo. Keadaan ini membuat posisi Granada sangat terjepit. Jauh sebelum kejatuhannya ke tangan penguasa Kerajaan Katolik yang merupakan aliansi dari kerajaan Castilian dan Aragon, Granada selama kurang lebih seabad telah membayar pajak dan upeti kepada penguasa Aragon dan Castilian agar tidak diserang. Banyak referensi kemudian menyebutkan kejatuhan Granada memang hanya menunggu waktu saja.
Saat saya berdiri mengagumi keindahan Alhambra kala itu, saya masih tidak mengerti mengapa peradaban yang membesarkan Alhambra ini kemudian runtuh dan nyaris tak bersisa di negri ini.
Mencoba mencari jawaban dari kepingan-kepingan keindahan Alhambra yang berserak, membawa kami menyusuri ruang demi ruang di Nasrid Palace.
Filosofi dan Matematika di Alhambra
Pemberhentian kami selanjutnya adalah pada sebuah bangunan utama yang kemudian menjadi salah satu icon Alhambra, Courtyard of The Myrtles.
Courtyard of The Myrtles ini diapit oleh 2 buah bangunan yang disebut North Gallery dan South Gallery. Tampak pada gambar berikut adalah South Gallery yang dulunya merupakan pintu masuk utama menuju Hall of Ambassador, sebelum kemudian tertutup oleh bangunan Palace of Charles V di belakangnya.
Tepat di seberang South Gallery, di tempat kami mengambil gambar, adalah North Gallery yang di dalamnya berdiri Hall of Ambassador. Ruangan dimana sultan biasanya menerima tamu utusan kerajaan lain.
Di atas kepala kami, di langit-langit ruangan Hall of Ambassador ini terpahat ukiran-ukiran dari para seniman Andalusia di masa itu. Ukiran di langit-langit itu menggambarkan 7 lapis deretan bintang yang menyiratkan 7 tingkatan surga seperti yang digambarkan dalam Al Quran. Dan di bawahnya, 5 buah jendela yang nampak diterangi sinar matahari sebagai simbol sholat 5 waktu yang menjadi syarat dicapainya 7 tingkatan surga tersebut. Filosofi yang dituturkan oleh pemandu kami semakin membuat kami tau kalau istana ini memang tidak dibangun dengan sembarangan.
Di bawah deretan 5 buah jendela pada tiap sisi dinding itu, melekat ukiran kaligrafi yang berisikan petikan ayat-ayat Al Quran maupun lafaz-lafaz Allah. Dalam gambar, sebagaimana ditunjukkan oleh pemandu kami, dinding-dinding pada Hall of Ambassador dipenuhi dengan berbagai ukiran kaligrafi bergaya kurfik maupun kufik.
Terletak di bawah ukiran kaligrafi itu, berderet pula keramik yang berukirkan ornamen dekorasi geometri yang berulang dan mendetail, sebagaimana yang kami lihat di ruang Mexuar Hall.
Objek gambar dekorasi yang kami lihat di Alhambra memang hanya berupa tulisan kaligrafi, bentuk geometri ataupun ornamen dengan bentuk tanaman. Tak ada gambar hewan maupun manusia. Ini memang merupakan ciri dekorasi khas arsitektur islam.
Meskipun demikian, ukiran dan bentuk-bentuk geometri tersebut dikerjakan dengan sangat detail dan tersusun sedemikian rapinya. Ukiran dengan bentuk geometri pada dekorasi dinding alhambra bahkan memperlihatkan karya yang dikerjakan dengan kemampuan ilmu matematika yang sangat baik. Beberapa di antaranya adalah dekorasi geometri yang sangat rumit. Sangat mengagumkan, mengingat hal ini dilakukan pada era dimana kemampuan baca tulis penduduk Eropa bahkan belumlah umum.
Meninggalkan Hall of Ambassador, kami melangkah masuk ke kediaman pribadi keluarga sultan, yang ditandai dengan sebuah halaman yang bernama Courtyard of The Lion. Nama ini diperoleh dari 12 patung singa yang berdiri menyangga sebuah kolam air. Mungkin ini satu-satunya patung hewan yang berasal dari peninggalan dinasti Nasrid. Mengingat patung hewan bukan hal yang umum pada bangunan arsitektur islam. Saya sendiri tidak begitu jelas apakah patung ini dibuat pada masa kesultanan islam atau merupakan hadiah dari seorang yahudi yang menempati lokasi ini terlebih dahulu, sebelum kemudian dibangun menjadi kediaman sultan.
Tetapi ada yang menarik tentang patung ini. Dalam sejarahnya, di masa kesultanan islam, 12 patung singa ini mengalirkan air mancur dari lubang mulutnya sesuai urutan jam yang berlaku untuk digunakan sebagai air wudhu. Air dialirkan secara grafitasi dari 4 penjuru ruang menuju ke kolam yang disangga 12 patung singa untuk kemudian dikeluarkan sebagai air mancur dari mulut singa sesuai urutan jam.
Jadi ini lebih tepat jika disebut sebagai fountain clock. Air mancur yang juga menunjukkan waktu.
Setelah lepasnya Alhambra dari kekuasaan muslim, penguasa Katolik memerintahkan untuk mengangkat kolam air untuk mengetahui cara kerja air mancur tersebut. Tetapi jawabannya tak kunjung diketahui, dan akhirnya air mancur itu pun dibiarkan mengalir sebagaimana keadaannya sekarang, tak lagi sesuai urutan jam.
Arsitektur kediaman di sekelilingnya pun tidak lepas dari pengamatan pakar sejarah. Seorang ahli sejarah bernama Antonio Fernandez Puertas dari Universitat de Granada bahkan menemukan penggunaan prinsip trigonometri yang sangat akurat pada bangunan di sekeliling Courtyard of The Lion.
Terlihat di gambar, penerapan prinsip trigonometri pada perhitungan tinggi, dan lebar bangunan pada tampak depan Muqarna Hall.
Dan sepertinya, penerapan prinsip matematika ini berlaku pada semua bangunan peninggalan kesultanan islam di Alhambra. Terlihat dari harmonisasi dan presisi rupa bangunan yang ada di Alhambra.
Bisa kita bayangkan bagaimana ilmu pengetahuan di Granada maju sangat pesat di masa itu.
Bila itu belum cukup membuat kita kagum, maka tengoklah ukiran yang luar biasa cantik terpahat dari dasar dinding hingga langit-langit di Muqarna Hall, Hall of Abencerrajes, Hall of The King dan Hall of the Two Sister.
Bahkan kami yang terlahir di abad 20 pun belum pernah menyaksikan keindahan bangunan serupa itu di tempat lain. Tak heran kalau Istana Alhambra ini kemudian dinobatkan sebagai 1 dari 4 istana dengan keindahan yang luar biasa bersama dengan Taj Mahal, Istana Versailles, dan Istana Topkapi.
Dari sejarahnya, Raja Charles V lah yang berkeras agar bangunan ini tidak diruntuhkan demi menyadari keindahannya yang tak akan didapatkan dari tempat lain kalaupun harus membangun yang baru lagi.
Kejayaan Yang Juga Kemunduran
Hingga saat kami kembali ke Belanda, saya masih belum benar-benar memahami mengapa peradaban gemilang yang kami saksikan peninggalannya di Alhambra kini hanya tinggal cerita sejarah.
Ya, kisah tentang masa inkuisisi yang mencabut habis akar kehidupan islam di tanah Andalusia masihlah menjejak di dalam sejarah dunia. Tapi pertanyaan saya jauh kepada peristiwa sebelum ini.
Tentang mengapa pasukan terakhir dari kesultanan islam memilih untuk menyerah sebelum berlaga dan dengan terpaksa menerima perjanjian damai yang sangat rapuh dan akhirnya secara sepihak dikhianati oleh pihak lawannya. Tentang mengapa pertolongan Allah tak bersama pasukan Sultan Muhammad XII, sultan terakhir kala itu, sebagaimana saat Allah SWT memenangkan pasukan Thariq bin Ziyad yang hanya membawa 12.000 pasukan menaklukan 25.000 pasukan Visigoth, yang kemudian membuka jalan dakwah ke Andalusia.
Sampai saya kemudian membaca sebuah tulisan dari seorang Salim.A.Fillah. Bahwa tak akan ada lagi yang didapati dari sebuah puncak pendakian melainkan ia pasti sebuah penurunan.
Inilah kiranya yang terjadi pada Alhambra.
Mungkin apa yang kita saksikan sebagai suatu kejayaan, itulah jua yang menjadi sebab kemundurannya.
Mengiringi kisah tentang keindahan Alhambra dengan segala pencapaian ilmu pengetahuan dan karya seninya, juga terselip kisah bagaimana konflik perebutan tahta, kemewahan dunia, perselingkuhan, hingga longgarnya nilai-nilai syariat pada kehidupan umat muslim Alhambra di penghujung kisah kejayaannya.
Masih terngiang di telinga saat kami menyusuri bilik demi bilik ruangan di Alhambra yang dipenuhi ukiran indah para senimannya, pemandu kami bertutur bagaimana selangkah demi selangkah Alhambra menjadi semakin condong pada kehidupan dunia. Nasrid Palace yang merupakan bangunan yang terakhir dibangun setelah Alcazaba dan Generalife, awalnya hanya berisi ukiran ayat suci Al Quran dan lafaz-lafaz Allah. Memasuki abad ke 14 dindingnya mulai dipenuhi dengan puisi ataupun syair-syair yang penuh pujian terhadap keindahan Alhambra dan penguasanya.
Kenyataan bahwa hanya ada sejumlah kecil prajurit dan jauh lebih banyak seniman dan ilmuwan di masa runtuhnya Alhambra, mungkin bisa membuat kita sedikit mengerti mengapa kejatuhannya ke tangan penguasa Katolik nyaris tanpa perlawanan. Bahkan ibunda dari penguasa terakhir Alhambra kala itu dengan getir mengucapkan kalimat yang cukup pahit mengiringi tangisan sang putra, “Jangan menangisi apa yang tak bisa kau pertahankan sebagai seorang laki-laki.”
Adalah Rasulullah saw yang akhirnya menjadi jawaban atas segala pertanyaan. Saat beliau mencontohkan bagaimana generasi terbaik yang pernah ada di muka bumi justru dibina dari kesederhanaan dunia, bukan dari sebuah istana mewah yang jauh dari rahmat Allah SWT. Saat beliau mengajarkan bahwa kejayaan sejati itu terletak pada kedekatan tiap pribadi dengan Rabb yang menciptakan, bukan dari megahnya dunia yang kita ciptakan. Wallahu a’lam.
Woow..mantap ama..bs jd buku 😄
Ditunggu oleh2nya naaa..
hee ibuu…ko update di wordpress dih.bisanya ko tau blogku hihihii
Kan ada di fbmu kalambe.. rajin skali ko menulis… 👍👍.saya biar buka fb kalo dicolek2 ji org 😂
Bukit Albayzinnya cakep banget mbaaak….
hai mba dewi, makasih udah mampir 🙂 foto2 di blog mba dewi jg keren2.ngiri saya heheh
Sungguh, nggak berhenti decak kagum membacanya. Tapi bagian yg paling jleb ya itu, saat sudah sampai dipuncak, sisanya hanyalah penurunan.
iya mba..alhambra ternyata benar2 memberi banyak pelajaran banyak ke kita.jauh lebih banyak dari yg saya duga 🙂
duh cakep banget mba 🙂 semoga bisa kesana aamiin
mbak mau nanya pemandunya itu bias cari dimana ya? apa sudah disediakan atau gimana?
klo beli tiket lewat tour travel biasanya udah include pemandu mba. sy beli di ilimtour.itu pemandunya muslim, sering jd guide orang indonesia, jadi dia udah familiar ma org kita.ada juga pemandu yg suka nongkrong depan loket nawarin jasa, tapi kadang suka habis dibooked jg klo lagi rame.tour travel lain juga banyak, bisa di search di google “tour guide alhambra”. opsi paling murah mmg ga pake pemandu, tinggal beli buku panduan wisata alhambra aja di toko2 souvenir.infonya lumayan lengkap di buku.untuk petunjuk arah biasanya udah dikasih peta krn alhambra itu luas banget.tapi mesti merhatiin waktu, krn jam masuk nasrid palace ketat sesuai yg tertera di tiket.jgn lupa klo beli tiket sendiri lewat website ga lewat tour travel, kartu kredit yg dipake buat beli tiket mesti ditunjukin untuk nukerin tiket.
Nangis bacanya
Aku lagi nginep di Alhambra Palace Hotel dibawah nya sama anak2. Malah sampai sini baru browsing ☹
Majapahit jauh ya
waah…selamat menikmati kota granada mba 😀 klo majapahit berjaya di asia tenggara krn armada perangnya yg luar biasa. kesultanan islam selain armada perangnya kuat zaman dahulu, juga krn pencapaian ilmu pengetahuan.boleh dibilang ilmu sains yg sampai pada kita hari ini berkat jasa ilmuwan2 andalusia 🙂 tapi periode kejayaan majapahit dan kesultanan islam andalusia ini sama2 antara thn 1200 M – 1400an masehi
Spanyol, keren ya mbak 🙂
banget mba 😉
Terimakasih banyak mba, lg searching ttg Granada, ktemi blog nya mba. Yg tdinya cmn ingin tau cara ke Granada, jd tau cerita lengkapnya Granada dan sejarah islamnya. Hati saya terenyuh bacanya.
mudah2an dilancarkan rencananya ke Granada mba. granada dan cordoba ‘is a must’ bagi setiap muslim yg ke eropa 🙂
MasyaAllaah… merinding bacanya mbak… it was like a slap in the face. Ironis memang yaa sejarah nya.. membuat saya semakin kepo utk berkunjung ke sana dan merasakan sendiri keindahan Alhambra. Thx for sharing yaa
ya mba…kami pun sebelumnya ga tau byk ttg andalusia ini sampe kami ke granada 🙂