Hatiku patah saat di Budapest.
Saya mengunjungi kota ini dengan ekspektasi yang sangat tinggi. Bukan tanpa alasan, rata-rata review yang saya baca merekomendasikan kota ini. Kawan, maupun portal informasi tentang traveling. Beberapa kawan saya sebelumnya sudah pernah berkunjung ke kota ini, dan semua memberi review yang bagus. Ditambah dengan berita yang saya baca, semakin membumbungkan harapan untuk bertemu kota dengan kecantikan ala Paris tapi bertarif ekonomi, alias serba murah.
Well…saya mungkin tidak sepenuhnya kecewa, ada bagian yang bikin saya senang di Budapest.
Tapi jika dirangkum, ada dua penyesalan saya di kota ini.
Penyesalan Pertama : Jangan Terlalu Berharap Untuk Kenyamanan Kotanya
Budapest itu cantik. Saya setuju. Coba perhatikan tangkapan kamera saya berikut ini.
Banyak yang menyebutkan kecantikan Budapest serupa kota Paris.
Di mata saya, ia justru terlihat seperti perpaduan antara kota Paris dan Istanbul.
Peninggalan bangunan-bangunan tua yang tampak mewah dan artistik mengingatkan kita akan kota Paris. Dan saat beranjak senja, pemandangan perbukitan wilayah Buda dan dataran Pest yang berkelap-kelip dari Sungai Danube yang membelahnya, tampak seperti kota Istanbul.
Tapi sebagaimana Paris, di kota ini juga kita akan bertemu lingkungan yang kumuh. Gedung-gedungnya tampak kusam dan tak terawat. Tak jarang kami bertemu kotoran yang tak sempat dipunguti.
Bukan hanya sampah atau kotoran, tunawisma maupun peminta-minta cukup sering kami temui. Di area underground stasiun Örz Vezér Tere dekat penginapan kami, sekumpulan tunawisma kami saksikan tidur menggeletak dan menggelar barangnya. Bahkan area parkiran sepeda pun, banyak dijadikan sebagai ‘rumah’ para tunawisma.
Di beberapa bangku tamannya kami juga sempat bertemu pecahan botol dan para pemabuk.
Saya tak tau masalah ekonomi seperti apa yang sedang mendera negri ini, tapi sulit rasanya saya menikmati kecantikan kota yang tampak megah dengan bangunannya di antara pemandangan memilukan yang saya dapati.
Sebenarnya, ‘sinyal’ ketidaknyamanan ini sudah kami temui bahkan sebelum kami sampai di kota ini.
Menumpang kereta jurusan stasiun Keleti Pályaudvar atau Central Station Budapest dari kota Vienna, kami bertemu ketidaknyamanan kami yang pertama.
Ini mungkin kereta paling tak nyaman yang pernah kami tumpangi di Eropa.
Sudahlah ruang cabinnya sempit, untuk duduk di kursi penumpang pun kita mesti reservasi kursi dan membayar biaya tambahan. Sekedar informasi, biasanya kereta-kereta di Eropa memang menyediakan layanan reservasi kursi dengan tambahan biaya. Tapi sebagian besar penumpang tidak melakukannya, karena kursi penumpang yang cukup banyak. Sehingga para penumpang selalu kebagian kursi.
Berbeda situasinya dengan kereta ke Budapest. Beberapa penumpang yang segerbong dengan kami banyak yang tak kebagian kursi. Sebagian akhirnya mengungsi ke gerbong restoran, sebagian lagi duduk menghampar di lantai.
Seorang turis bule asal Australia yang duduk di samping kami, tak tahan untuk tak mengomel.
“This is my third experience with the train, and there’s nothing change…” keluh si bule.
Sampai di stasiun Keleti Pályaudvar dan menyambung metro ke penginapan kami, kami masih harus bertemu ketidaknyamanan.
Tak semua mesin tiket menerima pembayaran dengan cash, dan tak semua mesin tiket menerima pembayaran dengan koin. Huufftt…rasanya saya pengen buru-buru segera sampai penginapan saat itu.
Dan saat tiket sudah di tangan, menuju platform metronya, lutut ini mendadak lemas liat tangga escalator tampak curam menjorok di depan mata. Kami belum pernah naik escalator sepanjang, setinggi dan securam ini sebelumnya. Hanya untuk melengkapi kegalauan kami, tak ada lift tersedia selain escalator itu untuk turun ke bawah. Terpaksalah dengan kegalauan tingkat tinggi kami menyeret sebuah koper besar bersama 2 bocah kecil kami dan sebuah stroller, berhati-berhati menaiki tangga escalator.
Rasanya semua stasiun metro di Budapest tak ada yang menyediakan lift untuk turun ke area platform metro. Tak heran, kami jarang banget ketemu keluarga yang bawa anak balita di dalam metro. Kalau pun ada, sama seperti kami, mereka harus menggotong strollernya di escalator.
Hal lain soal makanan halal. Tak seperti kota tetangganya, Vienna, atau kota lain di Belanda, Inggris dan Jerman, di Budapest kami cukup merasakan kesulitan untuk mendapatkan makanan halal. Padahal restoran Turki dan Timur Tengah cukup banyak di kota ini.
Baca juga : Tips Sebelum Pergi ke Budapest
Beberapa kedai makanan khas turki yang kami temui bahkan ada yang tak mengerti konsep halal. Di kedai lain dekat stasiun Örs Vezér Tere, pelayan doner kebab yang kami tanyai soal kehalalan daging kebabnya, dengan jutek malah menjawab..“there’s no halal meat here!”. Sedih.
Penyesalan Kedua: Saya Tak Sempat Membaca Banyak Tentang Sejarah Kota Ini
Mari move on dari segala kekecewaan yang saya temui sebelumnya. Penyesalan saya yang kedua justru karena daya tarik kota ini.
Seperti yang sudah saya bilang tadi, kota ini sangat cantik. Terutama kalau anda penggemar nuansa vintage. Banyak sudut-sudut kota yang akan nampak luar biasa di kamera anda.
Tapi jauh melebihi kecantikan kotanya, Budapest justru menyimpan kekayaan sejarah yang luar biasa. Bahkan menurut saya, termasuk salah satu yang paling kaya dalam warisan sejarah dibandingkan kota lain di Eropa.
Terhitung dari peradaban bangsa Celtic, Kekaisaran Romawi, Kesultanan Turki Utsmany, dinasty Austro Hungary hingga komunis dan NAZI sempat mewarnai sejarah kota ini. Beberapa bahkan menghubungkan sejarah kota Budapest dengan bangsa Asia berabad-abad yang lampau.
Dan disitulah saya menyesal. Berkeliling bangunan-bangunan tua di kota ini tanpa berbekal pengetahuan yang cukup soal sejarah Budapest, membuat saya melewatkan banyak dokumentasi penting.
Seperti saat saya melewatkan sebuah gereja tua tidak jauh dari kawasan Váci Ut. Karena tak banyak membaca sejarah kota ini sebelumnya, saya tak tau jika gereja tua yang dibangun pada tahun 1046 M ini tercatat sebagai salah satu gereja tertua di Budapest dan selama beberapa tahun di bawah kekuasaan Turki Utsmany pernah digunakan sebagai masjid.
Gereja yang dalam bahasa Hungaria dinamai dengan Belvárosi Plébániatemplom itu hampir tiap hari kami lewati. Tapi tak satu dokumentasi pun sempat saya ambil.
Hal yang sama juga terjadi saat saya di akhir kunjungan baru membaca tentang dua synagog di Budapest yang rupa bangunannya mengadopsi gaya arsitektur Moorish.Rumah ibadah umat yahudi yang memakai gaya arsitektur warisan kesultanan islam Andalusia itu tentu saja tak bisa kita temukan di sembarang tempat. Dan sayang sekali saya tak punya cukup waktu untuk sekedar mengambil gambarnya. Padahal lokasinya lumayan dekat dari penginapan.
Atau kejadiaan saat saya melewatkan kesempatan untuk berjalan-jalan di daerah St.Stephen Basilica yang terkenal sebagai icon kota ini. Sebagian besar turis yang berkunjung ke kota ini pasti mengambil gambar di sini. Padahal lokasi landmark ini hanya sepelemparan batu dari stasiun metro yang kami sambangi saban hari.
Saat itu saya hanya sedikit bertanya-tanya, bangunan apa kiranya yang kubahnya nampak mencuat dari kejauhan. Tanpa mengerti kalau kubah bangunan itu adalah salah satu landmark kota ini.
Saya memang tak ada maksud untuk berkunjung ke tempat ibadah selain untuk keperluan ibadah, tapi area St Stephen Basilica adalah salah satu kawasan yang sudah berkembang menjadi kawasan wisata dimana berjejer banyak cafe yang artistik dan pusat pertokoan yang instagrammable.
Di lain waktu, saya hanya terbengong-bengong dengan rupa Fisherman Bastion dan relief-relief yang terpahat di bangunannya. Tanpa mengerti sedikit pun sejarah bangunan ini.
Fisherman Bastion yang letaknya berdekatan dengan Matthias Church sejatinya adalah benteng dahulu kala walaupun tidak dalam rupanya yang sekarang ini. Benteng yang kita liat saat ini lebih berfungsi sebagai teras kota untuk mempercantik bangunan Matthias Church yang dipagarinya.
Dalam sejarahnya, benteng ini menjadi saksi betapa Hungaria adalah negri yang senantiasa menghadapi peperangan. Pernah runtuh akibat serangan pasukan Turki Utsmany, lalu kemudian dibangun lagi, dan lagi – lagi harus runtuh akibat pengeboman pada Perang Dunia ke II, sampai akhirnya direkonstruksi kembali menjadi rupanya yang sekarang.
Matthias Church sendiri pun tak kalah menyimpan sejarah. Pernah melewati masa kekuasaan Turki Utsmany di Hungaria, gereja ini pernah difungsikan sebagai masjid raya.
Setidaknya saya masih sempat mengambil gambar kedua bangunan ini dengan kamera, walaupun hanya berupa tangkapan sederhana ala turis. Tak sempat mengulik lebih jauh sisi bangunan yang menyimpan bukti jejak sejarah.
Dan saking minimnya informasi saya tentang kota ini, saya bahkan tak tau kalau Fisherman Bastion dan Matthias Church hanya berjarak sekitar 500 meter dari Buda Castle. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari lokasi kedua bangunan ini. Tau begitu, kami mungkin akan lebih hemat waktu mengunjungi ke tiga tempat ini sekaligus.
Kalau kita bisa menyebut Chain Bridge sebagai icon utama kota Budapest, maka sesungguhnya masih lebih dari 3 buah jembatan lagi di Sungai Danube yang menghubungkan wilayah Buda dan Pest. Masing-masing memiliki ciri khas dan sejarahnya masing-masing. Saya hanya sempat memotret 3 dari sekian jembatan yang ada. Dan tak mengerti satu pun dari sejarah masing-masing jembatan. Hehehehe.
Mengapa Elizabeth Bridge dibuat berbeda dari Chain Bridge, jembatan mana di antara semua jembatan itu yang mula-mula dibangun, saya benar-benar kekurangan informasi. Karena memang tak banyak membaca tentang sejarah kota ini.
Informasi lebih lengkap tentang sejarah negara ini mungkin lebih saya dapatkan saat mengunjungi Teror Haza atau Museum House Of Terror yang merekam jejak sejarah komunisme dan NAZI di Hungaria.
Dari museum ini saya jadi belajar tentang sejarah kelam Hungaria di bawah cengkeraman NAZI dan komunis. Kalau bisa membayangkan sebuah negri yang dicengkeram kekuasaan komunis, maka bayangkanlah sebuah negri yang mengalami double occupation, NAZI dan komunis.
Berkunjung ke museum ini dan ditambah kisah tentang ‘Shoes On The Danube’ membuat saya mengenang kota ini sebagai the city of misery.
Sayangnya, lagi-lagi saya tak bisa membawa banyak ‘oleh-oleh’ foto dari museum ini, karena aturan ketat untuk tak mengambil foto di dalam museum. Saya hanya sempat mengabadikan foto tampak luar bangunan dan beberapa gambar eksteriornya.
Situs-situs di atas belum termasuk situs makam seorang pejuang muslim di Roszadomb, kota bersejarah Pecs yang banyak menyimpan peninggalan Turki Utsmany, pemandian thermal bath yang tersohor warisan bangsa Turki, Hosök Tere atau Heroes Square tempat perayaan lepasnya Hungaria dari komunis, dan lebih banyak lagi situs-situs sejarah yang tersimpan di kota ini.
Kalau saja saya membaca lebih banyak sejarah Hungaria sebelum berkunjung ke Budapest, mungkin saya akan jauh lebih menikmati kota ini. Membuang rasa ketidaknyamanan yang saya dapatkan.
Tapi sayangnya susah menemukan makanan halal ya?
pengalaman saya gitu mba 🙂
Kota tujuan sex tourism ini budapest. Cantik2 😀
aaiihh….ko taukan lagi dhiii :p what u seek is what u get bro 🙂
Seneng deh blogwalking ke blog mba, saya ingat kota ini dari film India hihi, tfs mba
makasii dah mampir mba sandra 🙂 …sy malah ga tau lho film india mana yg lokasinya di budapest hihihi
Uwaaahhh house of terror itu udh lama pgn aku datangin mba. Suami yg udh pernah ksana mba. Tp waktu itu dia naik mobil dr bulgaria, pas masih tinggal di sofia. Kalo dia termasuk yg ga suka kota2 tua begini, jd kesannyapun sama, ga terlalu menarik. Tp kalo sdg traveling, aku justru suka kota penuh sejarah drpd yg terlalu modern :p. Jd kemungkinan besar, kalo ke budapest aku bakal suka sih 😀
iyes…mestinya dikau ke budapest mba.pasti suka.saya aja kepikiran buat balik lagi sebenarnya.walaupun byk ga nyamannya, tapi sejarah budapest itu benar2 bikin penasaran.byk yg pengen dikunjungi insya allah kalo dikasi kesempatan lagi.btw seneng deh dirimu sering mampir di mari hehehehe
Nice info mb
mbak saya dua kali ke budapest, bagi saya memang kotanya cantik dan jika dibandingkan kota di eropa lainnya tidaklah mahal, tricknya adalah menguasai atau memahami sistem transportasinya jadi bisa bepergian ke mana aja dengan mudah. dulu ada restoran indonesia tp pada saat kunjungan yang ke dua sdh tutup. kalau soal halal ya maaf saya gak tahu karena memang saya bukan muslim, tapi so untuk kecantikan kotanya saya sependapat dengan anda.
hai mba ketut…iyaa, mmg kudu berbekal info banyak klo mau ke budapest.sayang kmrn sy kurang persiapan jd kurang bisa menikmati.tapi klo disuruh balik ke sana, saya mau bangett.byk yg belum sempat dieksplore.
Mendatangi satu tempat baru tanpa berbekal info yang cukup memang seperti beli sesuatu tapi ditutup matanya ya Mbak..hanya meraba-raba bentuknya jadinya.
Biasanya kami tiap pergi juga begitu. Meski sudah punya itinerary dilengkapi nanti ke sana lalu ke sini, kok ya ada saja yang terlewati gara-gara kurang lengkap baca infonya.
Berarti kalau gitu musti ke Budapest lagi nih 🙂
yup…bener banget mba.klo ke budapest sy mmg pengen balik lagi sih..heheh.kmrn ga cukup puas.tapi blum tau kapan akan terealisasi 🙂
hallo mba..salam kenal ya..blog budapest nya sangat informatif sekali..kebetulan saya ada rencana ke budapest bln mei ini..ada yg saya mau tanyakan :
1. sebelumnya mba bilang naik kereta dr vienna ke budapest kurang recommended ya? jadi lbh baik naik bus ya? saya jg akan mengajak anak saya yg umur 5 taon utk trip ini..cuma saya agak khawatir klo turun di stasiun bus yg terkoneksi dengan stasiun metro apakah ada money changer nya? krn sy mesti tuker euro ke HUF..atau ada ticket machine yg bisa menerima pembayaran dengan credit card?
terima kasih banyak sebelumnya
hai mba 🙂 kalo pertimbangkan waktu tempuh krn bawa anak, mgkn bisa naik train tapi jgn lupa reservasi tempat duduk dgn tambahan biaya lewat website.mudah2an sih keretanya udah ganti ma yg baru.kmrn kereta jadul.kalo mau yg lebih murah naik flixbus.flixbus udah terkenal di eropa.nyaman bus nya, waktu tempuhnya agak lebih lama dibandingkan train.bisa dicek di rome2rio.com.tapi kmrn kereta kami juga telat nyampe di budapest, entah knp. money changer sy ga tau klo di stasiun bus.kmrn kami ga pernah ke money changer.narik lewat atm aja buat narik huf.ratenya bagus qo.biasanya tiap stasiun selalu ada atm.beli tiket metro, bisa pake credit card yg pake pin.tapi, mesin yg bisa credit card ga banyak.kadang sering rusak, kyk kami kmrn.jadi terpaksa nuker ke coin.krn mesinnya byk yg pake coin.
hallo mba..makasi banyak atas infonya 🙏🙏..oiya untuk stasiun metro di budapest keleti apakah ada escalatornya atau hanya tangga saja? saya liat escalator di stasiun budapest di youtube panjang dan curam gt ya..maaf mba klo boleh tahu kmrn pas tarik atm pake atm bank apa ya? sy pny bca&bni apa bisa dipakai disana? terima kasih banyak sebelumnya ya mba
stasiun metro keleti ada escalator.yg ga ada lift. kami krmn pake kartu atm bank danamon.harusnya bank lain jg bisa asal ada logo mastercard atau visa.klo yg logo gpn ga bisa.