Terletak di ketinggian sekitar 400 meter di atas permukaan laut, di puncak tebing berbatu antara Nice dan Monaco, desa tua peninggalan abad pertengahan Eropa, Eze menjadi salah satu persinggahan kami di Cote d’Azur Prancis.
Lebih tepatnya, saya, karena kali ini suami dan anak-anak tak ikut menyertai si emak yang lagi dapat free time untuk mengeksplore Eze, seorang diri. 🙂
Ada waktu seharian untuk keliling di Eze, karena kami tak punya rencana lain hari itu. Anak-anak dan papanya memilih untuk beristirahat di hotel setelah sehari sebelumnya kami menghabiskan sore di pantai teluk Villefranche. Tak menyia-nyiakan kesempatan, saya benar-benar menggunakan waktu yang ada untuk menjelajahi desa mungil ini.
Sama seperti Monaco, Eze juga menyimpan jejak sejarah islam di Eropa. Salah satu alasan kenapa saya benar-benar tertarik datang ke desa ini.
Sekitar abad ke 10 Masehi, Eze pernah diduduki bangsa Moors yang muslim. Dan setelah silih berganti penguasa yang memimpin Eze, desa ini kemudian jatuh ke dinasti Savoy dari Italia. Yang di kemudian hari menjadikan Eze salah satu benteng pertahanan mereka di pesisir laut Mediterania. Salah satu penyebab mengapa hingga kini nuansa Italia begitu terasa di Eze.
Saat Eropa memasuki abad kebangkitan yang dikenal dengan renaissance era, di tahun 1543 M armada laut muslim pun turut memainkan peran dalam sejarah Eze. Saat itu, menghadapi armada laut Savoy dari italia, Prancis meminta bantuan pasukan muslim dari kekhilafan Turki Utsmaniy.
Turki Utsmaniy kemudian menugaskan Barbarossa, laksamana laut muslim berdarah Yunani untuk menghadapi armada laut Savoy. Ketangguhan armada laut Barbarossa yang memang terkenal di pesisir laut Mediterania berjaya memukul mundur pasukan Savoy dari Italia. Eze pun berhasil direbut, dan diserahkan ke Prancis.
Meski sejarah umat islam setelah itu di Eze masih samar tak terbaca jelas, sama kaburnya dengan sejarah umat islam di awal kedatangan bangsa Moor di pesisir selatan Prancis, setidaknya kita jadi tau sejauh apa dulu umat muslim menjangkau tanah Eropa.
Wilayah Eze sendiri membentang dari pinggir laut hingga ke puncak bukit. Di area pesisirnya diberi nama Eze sur Mer, sementara area puncak bukitnya dinamakan dengan Eze Village.
Dan di Eze Village inilah saya menghabiskan sabtu siang saya saat itu.
Siang itu, saya hanya dibatasi oleh waktu dhuhur, hingga saya harus buru-buru balik ke hotel di Nice.
Syukurlah desa Eze bukanlah area yang luas untuk dijelajahi, sehingga masih ada cukup waktu untuk mengejar bus kembali ke Nice.
Desa Tua Dengan Restoran Bintang Michelin
Menuju ke Eze, saya menumpang bus no 112, jurusan Monte Carlo dan turun di halte Eze Village. Selain bus 112, bus nomer 82 juga punya rute menuju Eze Village. Info lebih jelas soal transportasi ke Eze lihat di sini.
Saat itu di bus, bukan saya saja seorang diri yang punya tujuan ke Eze Village. Ada lumayan banyak turis yang juga punya tujuan sama dengan saya, turun di halte Eze Village. Beberapa di antaranya berwajah Asia.
Turun dalam rombongan yang lumayan banyak, saya mengikuti saja kemana para turis itu melangkahkan kaki. Hanya sempat mengecek google maps beberapa saat, untuk memastikan saya tak salah arah.
Karena Eze Village ini terletak di puncak bukit, maka saya pun tak heran kalau jalan yang harus saya ambil adalah jalan menanjak di salah satu sisi jalan. Hanya sedikit berdoa, sepotong croissant yang sempat saya kunyah tadi pagi cukup memberikan energi untuk mendaki, hingga waktu makan siang tiba nanti.
Di ujung pertama tanjakan saya, sebuah gerbang tinggi menyambut dengan ukiran bertuliskan Chateau Chevre d’Or. Tak mengerti gerbang menuju kemana ini, saya pun membaca salah satu plakat di salah satu sudut gerbangnya. Yang artinya kurang lebih, “..Michelin Star Restaurant, lakukan reservasi untuk bisa masuk..”. Oooh, pasti restoran mahal 😀
Sudah jelas bukan ke sana arah saya. Saya pun beralih ke tangga berbatu tanpa gerbang di sebelahnya. Dan tak salah, tangga ini adalah akses menuju Eze Village yang saya tuju.
Sempat mengamati peta situasi Eze yang terpampang di jalur masuk, saya jadi agak sedikit percaya diri karena lorong-lorong di Eze Village ini saling terhubung satu sama lain. Ah, mudah-mudahan saja saya tak nyasar nanti.
Belum juga sampai di puncak, yang menurut peta ditempati oleh Jardin Exotique d’Eze, hamparan laut yang nyaris tak terlihat batasnya dengan langit, membentang di depan saya.
Eze Village memang terletak di salah satu puncak tertinggi di pesisir selatan Prancis. Alasan mengapa ia dijuluki le nid d’aigle, sarang elang.
Eze Village, Kampung Seniman
Tapi bukan cuma elang yang bersarang di sini. Di puncak ketinggian, Eze juga dihuni oleh berbagai seniman yang kini menjual karya mereka dalam rumah-rumah mungil bergaya medieval era yang disulap menjadi toko souvenir.
Di sepanjang lorong-lorong desa Eze, mata kita dimanjakan dengan karya lukis, ataupun kerajinan khas Eze. Meski begitu, seperti tempat wisata di seluruh dunia, hasil karya seniman Eze harus bersaing dengan produk souvenir buatan China yang juga meramaikan lapak pedagang di lorong-lorong desa Eze.
Akan tetapi, harus diakui desa ini ditata begitu apik, sehingga aura abad pertengahan Eropa masih jelas tertangkap di antara ruang-ruang komersil yang juga memenuhi desa ini.
Saking apiknya desa ini ditata sebagai tujuan wisata, tong sampah pun dibikin dengan cantik ber-signature desa Eze, sampai-sampai saya merasa harus mengabadikannya dalam kamera 😀 .
Kuliner dan Souvenir di Eze
Sekitar sejam berkeliling desa, saya akhirnya sampai di wilayah puncak bukitnya. Tepat di depan gerbang masuk Jardin Exotique, sebuah taman yang menyimpan koleksi tanaman eksotis seperti berbagai jenis kaktus dan bunga di Eze.
Saat mata saya tertumbuk di papan pengumuman yang menginformasikan harga tiket masuk plus petunjuk arah loket, si emak ini memilih mundur…hahhahah. Harganya sebenarnya cukup terjangkau. Tapi untuk sebuah taman dan lokasi foto yang kece, saya agak kurang tertarik untuk masuk dan membayar.
Siang itu saya lebih tertarik untuk melangkah masuk ke halaman sebuah restoran yang tepat berada di sebelah gerbang pintu masuk Jardin Exotique.
Lihat daftar menu dan harganya, ah masih masuk di kantong lah. Tak semahal restoran lain di sekitarnya. Lagipula perut sudah keroncongan, sedari pagi hanya sempat diisi sepotong croissant. Saya pun duduk dan memesan seporsi omelett dan secangkir cappucino, setelah sebelumnya sempat meminta tempat duduk dengan ocean view di dalam. Sayang, pramusajinya mengatakan harus reservasi terlebih dahulu untuk itu.
Setelah perut terisi, saya pun buru-buru turun untuk mengejar bis kembali ke hotel di Nice.
Dalam perjalanan turun menuju halte bus, saya menyempatkan diri untuk menengok satu – dua galeri yang juga menjual souvenir. Saya masuk ke toko parfum Fragonard yang cukup terkenal di Cote d’Azur dan membawa pulang sebotol parfum beraroma lavender yang sangat harum untuk diberikan sebagai oleh-oleh buat guru putri saya di logopedisch. Harga parfum di Fragonard lumayan terjangkau. Untuk eau de toilette ukuran 50 ml hanya dibanderol 18 euro.
Tidak jauh dari toko parfum Fragonard, ada beberapa toko souvenir menjual pernak-pernik yang lucu-lucu di kaki bukit desa ini.
Dan seperti biasa, souvenir wajib yang biasa saya bawa pulang adalah buku wisata. Mungkin ini cara terbaik bagi saya mengenang Eze, yang entah kapan bisa saya kunjungi lagi.