Pertama kali menginjakkan kaki di kota Lucerne Swiss, suara hati saya berbisik “this is heaven” 🙂 . Saya tidak berlebihan, dari beberapa kota di Eropa yang sempat kami kunjungi, boleh jadi Lucerne adalah yang paling cantik. Soal keindahan, rasanya Lucerne memiliki segalanya. Nope, i’m not talking about all those technological means or sophisticated transportation they have. Segala keindahan kota Lucerne nampak jelas dari alam yang ia miliki. Danau, gunung, hutan pinus, ladang peternakan, dan ruang terbuka hijau lainnya. Alam yang sebenarnya kita juga punya. Bedanya hanya mereka mendapat bonus pegunungan dengan salju. Lalu mengapa alam mereka nampak begitu indah. Air mereka lebih bersih. Lingkungan mereka nampak tertata secara alami dengan luar biasa cantiknya. Dan masyarakat kotanya nampak sangat fabulous dengan ciri khas warga kota negara maju yang berharmoni dengan lingkungannya.
Pertanyaan-pertanyaan yang kemudian membawa saya iseng-iseng berselancar di internet, mencoba menemukan referensi yang bisa menjawab pertanyaan tadi. Saya kemudian terhenti pada suatu brosur berjudul Water in Switzerland an Overview, yang dipublikasikan oleh Swiss Hydrological Commission pada tahun 2014. So here are some of what they said.
Surprisingly, kurang dari 30 tahun lalu, sungai-sungai di Swiss ternyata pernah terkontaminasi Phospat dan Nitrat dari sampah rumah tangga, industri dan pertanian. Jadi bayangkan 30 tahun lalu mereka masih mengalami masalah yang sama dengan kondisi perairan di negara kita. Keseriusan penanganan isu air ini kemudian oleh mereka ditunjukkan dengan dengan dimulainya wastewater treatment pada tahun 1980. Dilanjutkan dengan pelarangan penggunaan detergen berbahan phospat pada tahun 1985. Dan penggalakan usaha green agriculture yang lebih ramah lingkungan pada tahun 1990. Hasilnya, memasuki tahun millenium kualitas air di negara Swiss meningkat dengan signifikan terutama pada kualitas air danaunya. Manfaatnya tentu bisa kita saksikan sekarang, danau-danau di Swiss seperti Lake Lucerne kini menjadi objek pariwisata utama di Swiss. Laporan itu sendiri menyebutkan sains dan political act memberi pengaruh yang banyak pada keseriusan penanganan masalah perairan di Swiss.
Dan berbicara mengenai sains, kalau anda sempat mengelilingi danau Lucerne di daerah Flohmarkt, anda akan melihat sebuat water spike yang berfungsi mengatur ketinggian air di Danau Lucerne. Dan water spike ini sudah ada sejak tahun 1860 🙂 . Water spike di Lucerne memiliki fungsi yang sama dengan pintu air yang bisa kita temukan di kota Jakarta. Dengan adanya water spike ini, wilayah kota Lucerne yang mengitari Lake Lucerne dapat terjaga dari kemungkinan banjir. Tidak hanya itu saja, karena lokasinya yang berada di Lake Lucerne bagian depan kota, water spike ini sering kali jadi objek wisata yang cukup sering dikunjungi turis dari mancanegara. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Fungsi hidrologinya dapat, fungsi pariwisatanya pun juga diperoleh. Saya membayangkan seandainya bangunan-bangunan hidrologi di ibukota kita dikelola dan dirawat dengan baik, tentu hasilnya akan seperti ini.
Kalau laporan tadi menyebutkan peran sains dan political act, maka saya tidak dapat membayangkan hal itu dengan absennya peran masyarakat kota itu sendiri. Dan overview di laporan itu pun menyebutkan peran masyarakat kota di Swiss terutama dalam hal efisiensi penggunaan air. Disebutkan dalam laporan yang sama, water consumption per capita di Swiss menunjukkan trend yang menurun. Itu berarti penggunaan air di Swiss jadi jauh lebih hemat. Hal ini disebabkan karena masyarakat jadi lebih aware dengan water issue disusul dengan pemakaian metode dan peralatan yang lebih hemat air. Mesin cuci piring dan pakaian di Swiss kini banyak yang lebih hemat air.
Sewaktu kami di Lucerne, kami sempat ngobrol dengan salah seorang warga Indonesia yang sudah sekitar 10 tahun menetap di Swiss. Dari obrolan kami, kami jadi tau kalau warga kota Lucerne itu ternyata sangat efisien dalam segala hal. Contoh sederhana saja, soal jam tangan. Tau kan ya, merk jam tangan mulai dari Hublot, Tag Heuer, Swiss Army, Mont Blanc dan lain-lain adalah merk jam tangan mewah produksi Swiss. Ternyata, warga Swiss sendiri jarang yang punya jam tangan merk mahal itu semua. Mereka lebih terbiasa pakai jam tangan murah yang mungkin merknya tidak terlalu dikenal. Itu soal fashion. Soal kebiasaan sehari-hari pun, warga Swiss lebih menyukai aktivitas yang outdoor. Camping, hiking, dan biking adalah aktivitas favorit warga Swiss. Di waktu senggang mereka lebih senang pergi ke gunung untuk memancing atau sekedar piknik bersama keluarga. Saya pernah mengunjungi salah satu mall dari hanya sedikit jumlah mall yang ada di Lucerne (mungkin hanya ada dua tau tiga), dan mendapati mall yang sangat sepi dari pengunjung. Kalaupun ada pengunjung, kebanyakan menghabiskan waktu di cafe luar mall menikmati udara segar pegunungan. Di siang atau sore hari, tempat nongkrong favorit warga Lucerne jika tidak di cafe pinggir jalan dengan atap terbuka, mereka akan duduk-duduk atau berbaring menikmati udara segar di atas rumput di taman kota. Dan seperti negara lainnya di Eropa, warga kota di Lucerne Swiss sangat terbiasa berjalan kaki. Pedestrians mereka dirancang untuk membuat nyaman para pejalan kaki. Boleh dikata, para pejalan kaki adalah pengguna jalan raya yang paling dihormati. Mobil semewah apapun, akan berhenti mendahulukan pejalan kaki yang akan menyeberang. Hal yang mungkin tak akan berani kita coba jika hendak menyeberang di jalanan Indonesia. Di Swiss seperti pula halnya di negara Eropa lainnya, pejalan kaki hanya harus mengalah dengan kendaraan umum seperti bus. Dan seingat saya, mobil-mobil mewah di Lucerne justru banyak dipakai oleh para turis yang biasanya menyewa mobil lux seperti Lamborghini, Aston Martin, Maserati dan lain-lain, dari rental mobil setempat yang memang menyediakan mobil-mobil mewah untuk disewa berkeliling Lucerne. Warga kota Lucerne sendiri lebih memilih transportasi umum yang lebih murah dan nyaman seperti bus ataupun kereta. Tranportasi umum mereka pun sudah didesain untuk ramah lingkungan. Bus di kota Lucerne digerakkan dengan tenaga listrik untuk mengurangi tingkat polusi. Dan dengan warga kota yang seperti ini, kita bisa membayangkan bagaimana kualitas udara kota Lucerne yang jauh dari polusi.
Kembali ke laporan tadi, gaya hidup warga kota di Swiss yang benar-benar sadar dengan isu lingkungan, membuat saya jadi tau satu istilah baru dalam dunia pengelolaan sumber daya air. Istilah itu adalah virtual water. Saya tidak tau sejak kapan istilah ini dimunculkan. Tapi ketika membaca laporan dari Swiss Hydrological Commission di atas, virtual water sesungguhnya sudah kita kenal bertahun-tahun sebagai negara produsen yang memproduksi berbagai jenis barang untuk dieksport ke luar negeri. Definisi dari wikipedia dikutip dari Hoekstra dan Chapagain, virtual water adalah volume air yang digunakan untuk memproduksi sebuah produk, dihitung dari tempat produk itu semula diproduksi. Singkatnya, warga kota di Swiss menggunakan virtual water dari berbagai bahan pertanian ataupun industri yang mereka impor dari negara produsen seperti China, India dan negara-negara berkembang lainnya. Mengingat, beberapa dekade, Swiss tidak lagi memproduksi produk pertanian mereka sendiri, tetapi memilih untuk mengimpor dari negara lain. Produk pertanian impor yang berarti mengandung virtual water itu berupa kakao, gula, beras dan kopi. So basically, masyarakat dan pemerintah Swiss dalam masalah ini meletakkan environtmental issue di atas labour issue. Correct me if I wrong. Tapi bukankah sederhananya seperti itu jika kita lihat. Ketimbang memikirkan berapa banyak jumlah tenaga kerja yang bisa diserap di sektor pertanian, mereka lebih memikirkan berapa banyak air mereka yang bisa dihemat untuk memproduksi produk-produk pertanian dan industri lainnya. Dan komposisi virtual water di Swiss ini sekitar 1/3 dari total renewable water resources mereka. Bukan jumlah yang sedikit.
Tak lupa, laporan itupun menyebutkan, berkaitan dengan virtual water ini, dengan menyatakan “..it is actually not saved but relocated“. Dengan kata lain, ‘minjem’ dari negara produsen. Tinggal kita sebagai salah satu negara produsen berpikir mempertimbangkan hal ini. Tentu ada harga yang harus dibayar. Besar kecilnya harga itu tentu ditentukan juga seberapa besar kita menghargai lingkungan kita. Mungkin untuk bisa naik tingkat menjadi negara maju, masyarakat kita sudah harus meletakkan isu lingkungan sebagai isu utama.
Terima kasih utk tulisannya, sangat informatif dan inspiratif. Semoga Indonesia bergerak ke arah menjadi Negara maju yg menghargai lingkungan.
aamiin.makasih mba 🙂